AI Bisa Tulis Novel Sekeren Tere Liye? Ini Hasilnya!
Panas Media – Di era digital yang semakin canggih, kecerdasan buatan (AI) tak lagi sekadar menjadi alat bantu teknis. Kini, ia mulai merambah ranah seni dan kreativitas termasuk menulis novel. Tapi pertanyaannya, apakah AI bisa tulis novel sekeren Tere Liye, penulis Indonesia yang dikenal dengan gaya emosional, narasi puitis, dan alur cerita yang penuh makna?
Jawabannya: mengejutkan.
Dengan berkembangnya teknologi language model seperti GPT-4, Claude, dan Gemini, AI kini mampu memahami pola bahasa, struktur cerita, dan bahkan menyusun alur layaknya penulis manusia. Beberapa platform seperti Sudowrite, NovelAI, dan ChatGPT sendiri sudah banyak digunakan oleh penulis pemula untuk membantu menyusun cerita fiksi.
Baru-baru ini, tim riset independen dari komunitas TeknoSastra mencoba tantangan unik: meminta AI menulis bab pertama novel bergaya Tere Liye. Mereka memberikan prompt: “Tulislah tentang seorang anak yang menemukan kenyataan pahit di balik mimpinya yang terlihat sempurna.”
Hasilnya membuat banyak orang tidak percaya bahwa itu ditulis oleh mesin.
Baca Selengkapnya: Jurnalis Warga Meninggalkan Media Arus Utama—Dan Itu Sangat Mengerikan
Berikut penggalan pembukaan yang ditulis AI berdasarkan gaya naratif Tere Liye:
“Hari itu langit terlalu tenang. Seolah-olah sedang bersekongkol dengan diam. Arya berdiri di balik jendela tua, menatap hujan yang turun pelan. Ia tidak tahu, bahwa mimpi yang selalu ia kejar… ternyata bukan miliknya.”
Suasana, metafora, bahkan tempo kalimatnya memang terasa seperti karya Tere Liye tenang namun menyimpan ledakan emosi di dalamnya. AI tidak hanya meniru struktur kalimat, tetapi juga mencoba memahami emosi dan konflik batin tokohnya. Dalam eksperimen ini, AI menulis hingga 2.000 kata dengan alur yang runtut dan narasi mendalam.
Sebanyak 1.000 pembaca dari komunitas literasi digital diberikan dua teks: satu ditulis oleh manusia, satu lagi oleh AI tanpa diberitahu mana yang mana. Hasil polling menunjukkan 41% mengira tulisan AI adalah karya manusia, bahkan 18% yakin itu karya penulis profesional.
Komentar pembaca pun beragam. Beberapa menyebut narasinya “terlalu sempurna”, yang justru membuat mereka curiga itu ditulis oleh sistem, bukan manusia. Namun sebagian besar mengaku tetap terhanyut dalam cerita, tanpa peduli siapa penulisnya.
Meski hasilnya impresif, AI belum benar-benar bisa menyamai kejeniusan narasi emosional seperti Tere Liye. Ada elemen “rasa” dan kedalaman reflektif yang masih sulit dipahami mesin. Cerita AI cenderung linear dan minim kejutan batin belum punya jiwa.
Namun, kemampuan AI untuk belajar dengan cepat dan meniru gaya bahasa membuatnya semakin berbahaya terutama jika digunakan tanpa etika. Bayangkan jika suatu hari AI menghasilkan novel utuh dan dijual tanpa menyebutkan bahwa itu karya mesin?
Belum tentu. Justru sebaliknya, tren ini memunculkan genre baru: kolaborasi manusia dan AI dalam penulisan. Penulis menggunakan AI untuk mempercepat proses menulis, merancang alur alternatif, atau menemukan diksi yang jarang dipakai. AI menjadi “partner” kreatif, bukan pesaing.
Tere Liye sendiri pernah mengatakan di salah satu unggahannya, “Yang membuat cerita hidup bukan hanya susunan kata, tapi luka yang belum sembuh di hati penulisnya.” Dan itulah yang masih membedakan manusia dari AI emosi otentik.
Kemunculan AI dalam dunia sastra mengingatkan kita bahwa teknologi bisa menjadi alat luar biasa, tapi tetap harus digunakan dengan kesadaran. Jangan tergoda untuk menyerahkan semua proses kreatif pada mesin. Justru, gunakan teknologi untuk memperkaya karya kita, bukan menggantikannya.
Dan ya, AI bisa tulis novel sekeren Tere Liye secara teknis, tapi belum bisa menyaingi “jiwa” dari tulisan sang penulis sejati