Hype Budaya #KaburAjaDulu: Digitalismenya Anak Muda Bisa Hancurkan Identitas Lokal!
Panas Media – Beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi panggung utama lahirnya tren-tren digital yang masif dan viral. Salah satunya yang menarik perhatian adalah tagar #KaburAjaDulu—sebuah frasa ringan yang pada awalnya digunakan anak muda untuk menyindir tekanan hidup, pekerjaan yang membosankan, hingga tuntutan sosial yang terlalu berat. Namun di balik candaan dan meme yang bertebaran, muncul satu pertanyaan mengganggu: apakah tren ini adalah sekadar pelampiasan digital, atau pertanda retaknya hubungan generasi muda dengan akar budayanya?
Dengan menjadikan budaya digital anak muda sebagai penopang ekspresi diri, kita kini menyaksikan pergeseran besar dalam pola pikir. Budaya lokal yang selama ini dibangun lewat interaksi luring, nilai tradisi, dan koneksi antarindividu perlahan tergantikan oleh realitas virtual yang serba cepat dan serba instan. Ini bukan sekadar soal gaya hidup—ini adalah transformasi budaya yang berpotensi mengikis identitas kita sebagai bangsa.
Tagar #KaburAjaDulu sejatinya mewakili keresahan kolektif generasi digital yang merasa hidup dalam tekanan. Baik tekanan ekonomi, sosial, keluarga, hingga ekspektasi diri sendiri. Di dunia yang semakin kompleks dan tidak pasti, ajakan untuk “kabur dulu” terasa seperti bentuk perlawanan simbolik terhadap sistem yang dinilai tidak ramah terhadap kesehatan mental dan kebebasan individu.
Namun, budaya digital anak muda sering kali menyerap simbol ini tanpa refleksi lebih dalam. Apa yang awalnya merupakan bentuk satir atau kritik sosial, kini berubah menjadi tren konsumsi konten semata. Saat sebuah ekspresi menjadi komoditas, nilai-nilai yang melatarbelakanginya bisa hilang begitu saja. Inilah bahaya sesungguhnya: ketika generasi muda lebih mengenal meme global ketimbang cerita rakyat sendiri, lebih hafal tren TikTok ketimbang lagu daerah.
Digitalisme, dalam konteks ini, adalah pola hidup yang sangat dipengaruhi oleh arus media digital global. Ia menciptakan ruang di mana segala hal serba cepat, visual, dan mudah dibagikan. Di satu sisi, ini membuka akses luas bagi generasi muda untuk berekspresi dan terhubung secara global. Namun di sisi lain, digitalisme juga menjauhkan mereka dari pengalaman budaya yang penuh kedalaman, kesabaran, dan keterlibatan langsung.
Budaya lokal yang berbasis pada pengalaman fisik—seperti upacara adat, pertunjukan seni, atau ritual kampung—tak bisa bersaing dalam format scrollable. Mereka tidak cukup “viral”, tidak cukup “entertaining”, dan sering kali dianggap terlalu kuno. Akibatnya, anak muda tumbuh dalam sistem nilai yang lebih mengenal algoritma ketimbang adat istiadat.
Kehilangan identitas tidak selalu terjadi secara drastis. Justru yang paling berbahaya adalah ketika pergeseran itu berlangsung perlahan dan tidak disadari. Saat generasi muda mengadopsi budaya digital anak muda dari luar secara masif tanpa filter, maka secara otomatis mereka menempatkan budaya lokal hanya sebagai “ornamen” yang bisa diangkat ketika dibutuhkan—misalnya saat Hari Kemerdekaan atau lomba sekolah.
Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan generasi yang kehilangan keterikatan dengan akar budayanya sendiri. Mereka bisa mahir membuat konten dengan musik Korea, filter Jepang, dan narasi Barat, tapi gagap saat diminta menyebutkan lima tokoh lokal yang berjasa di daerahnya. Ini bukan tentang nasionalisme sempit, tapi tentang keberlanjutan identitas budaya di tengah era globalisasi digital.
Untungnya, ancaman ini tidak bersifat absolut. Budaya lokal dan budaya digital tidak harus saling meniadakan. Sebaliknya, kita justru bisa membangun jembatan kreatif antara keduanya. Banyak kreator muda yang kini mulai membalut cerita rakyat dalam bentuk komik digital, lagu tradisional dalam remix EDM, bahkan membuat filter media sosial bertema batik atau aksara Jawa.
Kuncinya terletak pada kesadaran. Saat anak muda menyadari bahwa nilai-nilai lokal bisa menjadi kekuatan kreatif yang otentik dan membedakan mereka di tengah arus global, maka budaya lokal punya peluang besar untuk hidup dan berkembang di ruang digital.
Peran media juga sangat penting. Media digital seperti Panas Media dapat menjadi ruang penghubung antara generasi muda dan narasi budaya yang lebih mendalam. Bukan sekadar menyajikan tren, tapi juga mengangkat konteks sosial dan sejarah di balik tren tersebut.
Tren #KaburAjaDulu boleh jadi hanya satu dari sekian banyak ekspresi kebudayaan digital saat ini. Tapi ia menjadi pintu masuk penting untuk mengkaji ulang relasi kita dengan identitas budaya. Apakah kita sedang benar-benar kabur dari tekanan, atau sebenarnya sedang kabur dari jati diri kita sendiri?
Kini adalah saat yang tepat untuk berhenti sejenak dan melihat ulang arah gerak budaya digital kita. Agar dalam kaburnya kita dari tekanan, kita tak sekaligus meninggalkan nilai yang selama ini menjadi penopang keberadaan kita sebagai bangsa.